Play 'Till The Last Note

Jumat, 01 Mei 2020

Jangan Dibaca, Ini Hanya Kesia-siaan

Meskipun kukatakan berkali-kali bahwa rasaku memudar di tiap perkelahian kita, yang aku sadari hanyalah aku tetap mencintaimu sebesar dulu. Aku tetap pengagum beratmu, meski aku sudah tahu banyak hal tentangmu. Aku tetap ingin berbincang denganmu, meski kita sudah menghabiskan mungkin ribuan jam untuk berbicara, bercerita, berkeluh kesah.

Kau tetap jadi pria yang selalu ingin ku jumpai, pria yang selalu ku pikirkan saat hal bahagia datang di hidupku, pria yang selalu kujadikan rumah untukku berteduh dari badai. Selalu kau..

Aku tak tahu apakah cinta ini akan berakhir bahagia atau menyakitkan.
Tapi percayalah,
kau selalu punya tempat di hatiku, sejak awal.

Sedih. Aku sedih saat tawamu lebih lepas saat kau bersama kawan-kawanmu.  Sat kau lebih bahagia untu ber-game  ria daripada berbincang denganku. Saat kau bisa terjaga sepanjang malam di depan komputer, tapi kau hanya butuh 5 menit untuk tiba-tiba mendengkur saat kita berbaring membicarakan dunia.

Kau selalu jadi duniaku. Dan semua sakit hati ini tercipta hanya karena harapanku yang terlalu besar agar kau memiliki perasaan yang sama terhadapku. Dan salahku karena seharusnya aku menyadari hal tersebut dari awal.

Karena sejak dulu, aku selalu patah hati dengan harapku untuk bisa berjumpa denganmu di tiap pertemuan keluarga. Aku kian sedih saat aku tak bisa menemukanmu saat aku menjumpai rumahmu. Aku selalu lunglai dengan harapan agar setiap candamu tentang kita itu tulus dari hatimu. Aku kerap bersedih saat aku berharap semua peryataan hatimu itu nyata, namun yang ku tahu saat itu kau sekadar bercanda.

Aku yang tak bisa tidur dimalam setelah tidur siang didekapmu. Aku yang senang bukan kepalang saat pagi-pagi buta kau sudah ada dirumahku. Namun sehari setelah itu, tak lagi kujumpai notif darimu. Bertahun kemudian aku tahu bahwa selama ini harapku harus patah karena kau bilang ingin menyeriusi perempuan lain.

Aku sedih saat kau terus mendukungku untuk kembali dengan mantanku. Aku berharap kau disana saat aku sendiri. Walau aku tahu aku akan berusaha untuk menjauh, tapi kau tahu, kau kelemahanku. Kalau saat itu kau keras kepala sedikit lagi, aku pasti akan menyambutmu dengan suka cita.

Tapi tidak.
Kau malah menghilang.
Saat itu aku mati karena harap.
Dan sampai saat ini pun aku berkali-kali mati karena harap.

-L

Bukan Tulisan Penyair

Teruntuk kekasihku.

Aku tak ingin menulis puisi barang sebait.
Aku tak mau bersedu untuk merindu,
sedangkan kau hilang melulu.

Aku tak tahu,
angin mana yang menghembusmu.
Jauh.
Tak bisa ku sentuh.

Kau punah malam ini.
Kau punah malam kemarin.
Kau punah bermalam-malam yang lalu.

Seakan gelap menelanmu sampai kalap.
Menyisakanku tiada.

Apa aku harus melagak bahwa akupun bisa punah?
Ah, tak bisa.
Membawanya kedalam pikiran saja aku sudah pusing tujuh keliling.

Sudahlah aku tidur saja.
Atau mendengar senandung rindu barang sebentar.
Siapa tahu kau datang selepas petang.

Atau belum?

Yasudah, aku tunggu saja.

-L
Bukan penyair, hanya rindu.

Tentang yang Sudah-Sudah

Banyak hal yang bisa membuatmu sakit hati,
padahal ia tak main hati.

Misalnya,
ia yang tak benar-benar jujur tentang apa yang diperbuat.

Atau tentang kantuk yang sengaja ia buat-buat.

Atau juga tentang jenuh yang katanya begitu kuat.


Kau bisa sakit hati karena banyak hal.

Tawanya yang bukan bersamamu,
apalagi karenamu.

Kebahagiaannya yang tak bersumber padamu.

Rindunya yang tak lagi untukmu.

Ocehannya yang tak lagi denganmu.


Kau ternyata hanya nyata untuk sementara.

Sisanya hanya abu-abu,
yang semu.


Pada akhirnya, kebenaran itu
semakin kau gali
semakin kau sakit hati
dibuatnya.

-L